Minggu, 07 Juli 2013

Tradisi Shodo





Pengertian Shodo
Seni menulis indah menggunakan kuas dan tinta hitam atau yang lebih dikenal dengan istilah kaligrafi sudah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Kaligrafi pertama kali dikembangkan di negeri China. Awalnya kaligrafi mengutamakan keindahan tulisan saja, namun lama-kelamaan mengarah ke sebuah seni. Seni ini lalu diperkenalkan di Jepang pada abad ke 17 bersamaan dengan penyebaran agama Budha dari India menuju Korea, China, dan Jepang, di mana kitab suci Budha sudah ditulis dengan kaligrafi China saat agama tersebut diperkenalkan di Jepang.
Shodo dalam bahasa jepang yang artinya Kaligrafi (the Way of Brush), yang berasal dari huruf kanji kaku (menulis) dan michi(cara) adalah salah satu bentuk seni yang telah di pelajari selama lebih dari 3000 tahun yang lalu. Meskipun shodo merupakan kebudayan yang cukup kuno, namun orang Jepang masih mempertahankan kebudayaan itu, terbukti hingga saat ini masih banyak orang yang tertarik untuk mempelajarinya, bahkan di sekolah-sekolah para murid (biasanya murid SD) diajarkan shodo. Pengetahuan akan seni kaligrafi adalah salah satu langkah yang penting di dalam memahami budaya Jepang. Kaligrafi bukan hanya sebuah latihan menulis yang baik, tetapi lebih merupakan awal mula nya bentuk seni dari oriental. Kaligrafi adalah sebuah kombinasi antara skill dan imajinasi seseorang yang telah belajar secara intensive penggunaan kombinasi-kombinasi garis-garis. Sekilas shodo tampak mudah dibuat, namun orang yang masih pemula akan langsung mengalami kesulitan saat mencobanya, karena banyaknya hal yang harus diperhatikan, mulai dari keseimbangan bentuk tulisan, tarikan garis, tebal-tipisnya garis, hingga irama tulisan.


Di dunia barat, kaligrafi di maksudkan untuk menekan individu dan untuk menciptakan gaya yang sama. Kaligrafi Jepang (sho dalam bahasa Jepang) berupaya untuk membawa suatu kata kedalam kehidupan, dan memberikan nya anugrah dengan bentuk karakter. Gaya kaligrafi Jepang sangat individualistik, berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Kaligrafi Jepang menghadirkan suatu masalah bagi orang barat yang berusaha untuk memahami nya; suatu hasil karya seni kaligrafi bisa di selesaikan hanya dalam hitungan detik, oleh karena itu, bagi seorang yang tidak memahami kaligrafi Jepang, mereka tidak akan bisa menghargai seberapa besar tingkat kesulitan yang ada dalam suatu karya seni kaligrafi.
Yang perlu di ingat bahwa, karakter-karakter yang di tulis di sebuah karya seni kaligrafi hanya boleh di tulis satu kali coretan. Tidak boleh ada pengulangan, penambahan atau finishing di suatu karya seni kaligrafi.
Sejarah Singkat Shodo
Sejarah kaligrafi Jepang dapat di lihat kembali ke asalnya yaitu kebudayaan Cina dan penciptaan sistem tulisan cina itu sendiri kira-kira sekitar 4.500 tahun yang lalu. Kaligrafi telah di kembangkan dalam waktu yang sangat lama pada saat dibawa nya ke Jepang yaitu sekitar abad ke 6 bersamaan dengan awal mulanya sistem menulis cina (kanji) masuk ke Jepang.
Di masa Heian, orang Jepang sudah memulai menunjukkan pencapaian yang cukup luar biasa di dalam bentuk seni yang baru “Three Great Brushes” (atau sanpitsu) oleh pendeta Buddha, Kuukai (774 - 835), Kaisar Saga (786 - 842) dan petugas kekaisaran Tachibana no Hayanari (778 - 842) telah mencapai pendewaan gaya kaligrafi yang kemudian menjadi popular dari master Cina T’an, Yan Zhenqing (709 - 785).

Ada 5 script dasar di dalam kaligrafi Cina: tensho (seal style), reisho (clerical style), kaisho (block style), gyosho (semi-cursive style), sosho (cursive stye, atau di sebut “tulisan rumput”). Ke lima-lima nya ini telah muncul sebelum akhir abad ke 4. Sebagai tambahan, orang Jepang telah mengembangkan karakter kana sepanjang abad ke 8, karakter-karakter yang melambangkan bunyi ini bertolak belakang dengan karakter yang di pakai sebagai ideographic (kanji). Tiga jenis kana telah di kembangkan yaitu, manyogana, hiragana dan katakana.
Manyogana adalah karakter Cina tertentu (kanji) yang di gunakan secara phonetik untuk melambangkan syllable Jepang, dan di beri nama setelah koleksi poetry Manyoshu di abad ke 8. Di saat koleksi ini di kompilasi, orang Jepang belum memiliki sistem tulisan mereka sendiri. Sebagian poem Jepang di tulis dalam karakter-karakter Cina yang di pakai secara phonetic, dan yang lainnya karakter-karakter Cina terkadang di gunakan secara phonetic dan secara ideographic. Oleh karena itu, denga penggunaan penyederhanaan yang drastis, muncul lah hiragana dan katakana. Dan di tangan para bangsawan Jepang wanita, hiragana di kembangkan ke dalam script yang indah yang menjadi gaya kaligrafi khas Jepang.
Hampir tidak ada contoh seorang pun yang meskipun dia adalah jenius yang bisa menciptakan karya seni yang luar biasa tanpa latihan dengan menggunakan referensi ke tradisi zaman dulu. Agar dapat menguasai aturan-aturan nya, seseorang harus belajar dan menguasai teknik-teknik dan mengikuti nilai-nilai moral para guru masa lalu.

Cara Membuat Shodo
Keindahan kaligrafi tentunya tidak terlepas dari peralatan yang digunakan. Ada 6 jenis peralatan utama yang biasanya digunakan untuk membuat kaligrafi Jepang. Yang pertama adalahshitajiki, berupa alas untuk menulis. Biasanya alas ini berbahan semacam kain flannel yang permukaannya lembut dan berwarna hitam. Kedua adalah bunchinatau pemberat kertas berbentuk balok yang terbuat dari besi.
Peralatan lainnya yaitu kertas untuk menulis. Kertas yang digunakan bukan sembarang kertas, melainkan kertas yang tipis dan ringan, namun tahan lama dan dapat menyerap tinta. Kertas khusus ini dikenal denganhashi, berupa kertas dengan dua permukaan berbeda, di mana sebelah permukaannya kasar, sedangakan permukaan sebaliknya halus. Bagian inilah yang dipakai saat menulis kaligrafi. Ukuran hanshi umumnya berkisar antara 24 x 32,5 hingga 26 x 35 cm. Selanjutnya adalah perlengkapan yang paling utama dalam pembuatan kaligrafi, yaitu kuas yang dinamakan fude. Ada berbagai macam bentuk fude, mulai dari kecil hingga besar. Fudeukuran besar biasanya digunakan untuk membuat tulisan, sedangkan yang kecil digunakan untuk membubuhkan tanda tangan si pembuat kaligrafi. Batang fude terbuat dari bambu atau kayu pohon, sedangkan bulunya terbuat dari bulu hewan, seperti domba, musang, rakun, rusa, bahkan ekor kuda. Bulu itu kemudian diikat dan ditempelkan pada batang fude. Rapi tidaknya ikatan bulu fude sangat mempengaruhi tekstur tulisan. Tidak hanya fude saja tetapi juga tinta yang dipakai juga mempengaruhi hasil tulisan. Tinta yang dipakai untuk seni kaligrafi bisa berupa tinta botolan, namun agar hasil tulisan lebih maksimal, biasanya digunakan sumi, berupa tinta yang dipadatkan. Cara mencairkan sumi sangatlah mudah, cukup dengan menambahkan air lalu menggosok-gosokannya dalam wadah besi yang disebut suzuri.
Sebelum menulis kaligraf, keenam perlengkapan itu ditata sesuai aturan. Hanshi diletakkan di atas shitajiki, kemudian di bagian atasnya beri pemberat bunchin agar tidak bergeser ataupun tertiup angin. Sedangkan suzuriyang sudah berisi tinta sumi diletakkan di sebelah kanan bersebelahan dengan fude. Kadang-kadang fude juga diletakkan di atas fudeoki, yang mirip seperti balok kecil untuk menyimpan sumpit.
Untuk menulis kaligrafi bahasa Jepang, hal pertama yang harus dikuasai tentunya tulisan Jepang, mengingat urutan penulisan huruf Jepang tidak sama seperti menulis huruf alphabet. Hal ini sangat penting, karena kesalahan sekecil apapun akan tampak jelas pada hanshi. Selanjutnya adalah tata cara menggunakan fude. Cara memakai fude yang benar adalah menggenggam bagian tengahnya, dan saat mencoretkan tinta pada hanshi, fude diarahkan tegak lurus, pergelangan tangan dan siku tidak boleh menyentuh meja.




Tradisi pernikahan shinto



Di setiap negara mengakui sucinya pernikahan melalui sebuah upacara pernikahan, tidak semuanya dibuat sama. Tradisi pernikahan di suatu negara mungkin terlihat sangat asing bagi masyarakat di negara lain.
Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha.
Saat ini, adat pernikahan bergaya Barat, seperti ritual pemotongan kue, pertukaran cincin, dan bulan madu, sering kali dipadukan dengan adat tradisional Jepang.
Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto. Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus bagi upacara pernikahan.
Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-sankudo. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan.
Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.
Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa.
Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani.
Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya kepada para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi (secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.
Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya.
Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.
Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan.
Mempelai pria mengenakan kimono berwarna hitam  pada  upacara pernikahan.
Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun, ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.
Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa uang sumbangan dalam dompet mereka. Hal ini karena mereka diharapkan memberikan pasangan goshugi atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan.
Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau hikidemono seperti permen, peralatan makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada para tamu untuk dibawa pulang.  (The Epoch Times/val)


Tradisi Origami




Origami adalah seni tradisional Jepang melipat kertas. Konsep tradisional origami adalah membuat objek yang menarik hanya dari selembar kertas tanpa memotong.
Eric Joisel adalah seniman origami lahir di Paris pada tahun 1956. Dia mulai dengan seni origami pada tahun 1983. karya artistik-Nya lebih populer di Jepang dan Amerika Serikat daripada di Eropa. Dia mengatakan bahwa orang Eropa melihat origami sebagai sesuatu yang untuk anak-anak.
Origami bisa menggunakan berbagai jenis bentuk kertas. Bisa pula menggunakan kertas putih maupun berwarna, sebagian yang lain bahkan memberi warna saat bentuk akhir origami berhasil dibuat. Meski demikian, ada juga beberapa purist (sebutan untuk para pengamal origami) yang memberlakukan syarat ketat pada origami, diantaranya; Hanya kertas berbentuk bujursangkar yang digunakan dan gunting, lem, serta alat tulis tidak digunakan sama sekali

Origami dipercaya telah ada sejak kertas pertama kali digunakan, yaitu pada abad pertama Cina. Tepatnya pada 105 M oleh Ts’ai Lun. Contoh-contoh awal origami yang berasal dari Cina antara lain tongkang Cina dan kotak. Pada abad ke enam, cara pembuatan kertas itu kemudian dibawa ke Spanyol oleh orang-orang Arab dan ke Jepang (610 M) oleh seorang sami Buddha bernama Dokyo yang juga merupakan doktor peribadi Ratu Shotoku

Tradisi kabuki


Kabuki

Bagi orang Jepang, Kabuki mungkin memiliki arti seperti teater Shakespeare bagi orang Inggris atau opera tradisional bagi orang Italia.
Kabuki merupakan teater tradisional Jepang, menggabungkan unsur tari, pantomim, musik, dan drama.
Pelaku sering memakai kostum dan make-up berlebihan untuk menegaskan karakter mereka. Riasan antara lain menggunakan tepung beras untuk menciptakan efek porselen pada kulit.
Sekitar tahun 1603, seorang gadis kuil muda bernama Okuni mulai mementaskan tarian di luar Kyoto, ibukota kuno Jepang.
Pertunjukan ini menjadi begitu terkenal sehingga sejumlah penari dan musisi lain membentuk grup kabuki mereka sendiri.
Namun, karena para pementasan terutama diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah, teater kabuki tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat kelas atas.
Lebih parah, beberapa pemain kabuki perempuan menjadi populer untuk lagu mesum dan tarian provokatif mereka.



Prostitusi juga menjadi praktik umum mengikuti pementasan kubuki. Akibatnya, pemerintah akhirnya melarang perempuan terlibat dalam pementasan kabuki.
Sama seperti pementasan teater Shakespeare, tokoh perempuan dalam kabuki diperankan oleh aktor laki-laki yang disebut onnagata.
Seiring dengan waktu, pertunjukan teater kabuki semakin berkualitas. Penekanan bergeser dari tema tarian asli menjadi drama dan komedi berdasarkan tema kontemporer seperti pengkhianatan atau intrik politik.
Aktor kabuki umumnya juga mempelajari gerakan dan dialog dari teater boneka populer yang disebut bunraku.
Seiring apresiasi dari pemerintah dan kalangan kelas atas yang semakin meningkat, tetater kabuki menjadi semakin populer di Jepang.
Selama Perang Dunia II, komunitas teater kabuki menderita kerugian yang luar biasa.
Butuh waktu beberapa dekade untuk memulihkan dan melatih jumlah aktor yang memadai untuk menggantikan mereka yang menjadi korban perang.
Saat ini, teater kabuki masih cukup populer di kalangan masyarakat Jepang. Kabuki antara lain dimainkan untuk kepentingan pariwisata sebagai bukti pencapaian budaya tradisional Jepang. Biasanya pemain Kabuki memakai tatarias yang mencolok dan berkostum mewah. Semua pemainnya adalah laki-laki.

Sabtu, 06 Juli 2013

Ikebana

Bunga sebagai bagian dari tumbuhan telah digunakan sejak zaman dahulu untuk berbagai ritual, baik sebagai persembahan kepada dewa ataupun sesajian untuk arwah para leluhur. Namun, dari sekian banyak ritual yang menggunakan bunga, mungkin hanya jepanglah yang dapat mempertahankan dan mengubahnya menjadi sebuah kebudayaan bernilai seni tinggi, yang dewasa ini dikenal dengan sebutan ikebana.    
Pengertian Ikebana
Kata ikebana merupakan gabungan dari kata ‘ike’ yang berari ‘hidup’ atau ‘tumbuh’ dan kata ‘hana/ bana’ yang berarti ‘bunga’. Jadi, secara etimologi ikebana berarti ‘bunga hidup’. Secara populer, ikebana diterjemahkan sebagai ‘seni merangkai bunga’.  

Rangkaian bunga ikebana tidak hanya disusun oleh bunga saja. Daun, buah, rumput dan ranting juga menjadi unsur penting dalam ikebana. Bahkan plastik, kaca dan logam juga dipergunakan dalam ikebana kontemporer. Semua unsur-unsur tersebut dirangkai sedemikian rupa dengan memperhatikan cara merangkai, ukuran, tekstur, volume, warna, jambangan, tempat dan waktu merangkai bunga tersebut sehingga dapat dihasilkan rangkaian bunga yang indah dan bernilai seni tinggi. 
Ikebana Tradisional
Pada awalnya ikebana adalah rangkain bunga yang dipersembahkan kepada Budha dan roh leluhur. Saat itu, rangkaian ikebana masih sangat sederhana karena hanya terdiri dari 3 tangkai bunga saja yang ditancapkan sedemikian rupa secara simetris. Tangkai utama yang paling panjang di tengah-tengah, sedangkan 2 tangkai lainnya yang lebih pendek di kiri-kanannya. Pada awal abad 17, rangkaian bunga untuk persembahan tersebut berkembang menjadi gaya rikka (bunga berdiri) yang diciptakan oleh seorang biksu Budha dari Sekolah Ikenobo. Tangkai utama pada gaya ini melambangkan surga atau kebenaran, sedangkan 2 tangkai lainnya melambangkan alam (kehidupan). 

Tak lama setelah gaya rikka berkembang dan semakin komplek, muncul gaya lain yang sangat sederhana, yaitu nageire yang artinya melemparkan atau membuang. Nageire ini merupakan rangkaian bunga bergaya bebas. Dalam nageire ini rangkaian ikebana-nya terdiri atas 1 atau  2 tangkai saja yang diletakkan secara apik pada sebuah jambangan kecil sebagai hiasan pada saat chanoyu (upacara minum teh). Rangkaian bunga untuk minum teh ini juga dikenal dengan istilah chabana
Biksu dan golongan bangsawan adalah segelintir orang yang pada awalnya mempraktikan ikebana, tetapi pada abad 18 secara luas juga dipraktikan oleh golongan samurai dan para pedagang. Hal ini tidak dapat lepas dari stabilitas keamanan dan perkembangan perekonomian Jepang yang semakin baik. Kekomplekan dan kekakuan gaya rikka mendorong lahirnya gaya lain yaitu gaya shoka atau seika yang berarti ’bunga hidup’.  Gaya shoka/ seika ini dengan cepat tersebar di tengah masyarakat yang menyebabkan terdesaknya gaya rikka.  

Pada dasarnya gaya shoka/ seika ini merupakan gabungan dari gaya rikka yang melambangkan alam dan gaya nageire yang melambangkan kesederhanaan. Gaya shoka/ seika terdiri atas 3 tangkai yang dibentuk menjadi segitiga yang asimetris. Ke-3 tangkai yang dipergunakan dalam gaya shoka/ seika ini memiliki julukan tersendiri, yaitu ten (surga), chi (bumi) dan jin (manusia). Gaya shoka/ seika ini menjadi sangat populer pada awal abad 19 dan menjadi dasar dalam pengajaran ikebana modern. 
Ikebana Modern
Setelah Restorasi Meiji tahun 1868, semua kesenian yang berkembang di Jepang mangalami stagnasi. Kebudayaan barat begitu memukau masyarakat Jepang sehingga kesenian dan kebudayaan tradisional Jepang sedikit terlupakan. Namun, hal ini tidak berlansung lama karena muncul sebuah gaya baru, yaitu gaya moribana (tumpukan bunga). Kemunculan gaya moribana yang dikembangkan oleh Ohara Unshin membangkitkan kembali minat bangsa Jepang pada ikebana. Gaya moribana ini menekankan pada warna dan pertumbuhan tanaman. Gaya ini diciptakan untuk merespon bunga-bunga baru yang diperkenalkan orang barat yang datang ke Jepang.           
        
Selain Ohara, muncul juga peletak dasar ikebana lain yaitu Teshigahara Sofu, yang mendirikan Sekolah Shogetsu. Di Shogetsu yang paling populer adalah kebebasan dalam pemilihan bahan. Bahan-bahan yang tidak digunakan pada ikebana tradisional mulai digunakan, seperti plastik, plester, baja dan lain-lain. Penggunaan bahan-bahan ini menciptakan karya-karya avant-garde yang abstrak dan surealis. 

Ikebana modern didominasi oleh tiga sekolah ikebana yaitu Sekolah Ikenobo yang mengusung gaya rikka dan shoka/ seika, Sekolah Ohara yang mengusung gaya moribana dan Sekolah Shogetsu yang mengusung konsep abstrak dan surealis. Ketiga sekolah ikebana ini mengklaim memiliki jutaan pengikut. Selain ketiga sekolah tersebut di Jepang sendiri masih ada ratusan sekolah lain dengan ribuan pengikut.  
Orang Jepang yang bukan pengikut salah satu sekolah ikebana mempraktekan ikebana dengan bahan-bahan tertentu dan pada waktu tertentu pula, misalnya : 
1. Oshogatsu
Orang Jepang memasang kadomatsu (rankaian bunga dari pohon cemara dan aprikot dan juga dilengkapi pohon bambu) di pintu rumahnya pada saat Oshogatsu (Tahun Baru). Cemara melambangkan keabadian, aprikot melambangan kemuliaan dan bambu melambangkan kedinamisan.

2. 3 Maret
Tanggal 3 Maret merupakan hari diadakannya Hina Matsuri (Festival Boneka/ Festival Anak Perempuan). Pada hari ini dipajang hina ningyo dan rangkaian ikebana dari ranting pohon persik yang sedang mekar.  
3. 5 Mei
Tanggal 5 mei merupakan Kodomo no Hi (Hari Anak-anak). Pada hari ini dipajang rangkaian ikebana dari pohon bunga iris.
4. 7 Juli           
Tanggal 7 juli merupakan hari dilaksanakannya Festival Tanabata. Pada hari ini dipajang bambu, lalu pada bambu tersebut diikatkan kertas bertuliskan harapan. 

Jumat, 05 Juli 2013

Perayaan Hanami

Perayaan Hanami merupakan salah satu perayaan tahunan di negara Jepang yang ada pada musim semi, tepatnya pada bulan April.
Perayaan Hanami ini adalah perayaan untuk melihat bunga sakura, yang merupakan Bunga khas dari negara Matahari Terbit. Budaya merayakan mekarnya bunga ini, tidak adda di negara Indonesia.
Hanami, merupakan perayaan yan gdiselenggarakan secara sederhana akan tetapi dengan kesederhanaanya itu, perayaan hanami justru menjadi kesenangan terbesar bagi orang-orang Jepang dalam setahun kehidupan mereka.
Budaya seperti ini yang sudah mulai luntur pada diri sebagian masyarakat Indonesia. Dewasa ini, masyarakat Indonesia, pada umunya masyarakat ekonomi kelas atas, lebih suka mencari kesenangan dengan cara menghambur-hamburkan uang, seolah kemewahan merupakan simbol mutlak dari kebahagiaan. Padahal dari kesederhanaan seperti yang yang terdapat pada perayaan hanami di Jepang itu juga bisa tercipta kebahagiaan tersendiri, karena pada saat perayaan hanami, orang-orang Jepang tidak hanya sekedar menikmati keindahan bunga sakura, akan tetapi orang-orang Jepang juga mempunyai waktu tersendiri untuk berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang.

Perayaan Hanami yang dalam sejarah berarti melihat-lihat bunga sakura, dalam perkembangannya perayaan ini lebih bersifat sebagai ajang rekreasi.
Bisa kita bayangkan kebahagiaan orang-orang Jepang pada saat mereka merasakan kehangatan berkumpul bersama keluarga diantara rimbun pepohonan sakura yang sedang mekar. Sebuah rekreasi keluarga dalam kehangatan budaya tradisional yang tidak goyah oleh hadirnya gaya hidup modern. Kenyataan ini sungguh berbeda dengan keadaan masyarakat Indonesia. Budaya Indonesia yang ketimuran justru mulai terkikis oleh hadirnya budaya-budaya barat yang menyebabkan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kota, terkesan menjadi masyarakat yang individual. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga jarang mempunyai waktu untuk berkumpul bersama keluarga.
Perayaan Hanami ini tidak bisa dianggap sebagai perayaan yang biasa, karena meskipun sekedar menyaksikan mekarnya bunga sakura, dengan adanya perayaan hanami menunjukkan kecintaan masyarakat Jepang terhadap bunga sakura.
Perayaan semacam ini mungkin tidak bisa kita jumpai di negara-negara lain, yang menakjubkan adalah masyarakat Jepang tetap melestarikan Budaya hanami, meskipun di era modern ini banyak pilihan tempat untuk bersantai bersama keluarga, misalnya dengan pergi ke tempat karaoke.
Masyarakat Jepang tetap memilih berkumpul dan bersantai bersama keluarga di bawah pohon sakura sambil menikmati keindahan bunga sakura.
Keteguhan masyarakat Jepang dalam melestarikan budaya tradisional mereka, patut untuk diteladani. Tidak hanya hanami, kebiasaan berkirim nengajo (kartu pos) pada saat tahun baru dan menjelang musim panas juga tetap berlangsung ditengah masyarakat Jepang. Sekalipun kecanggihan teknologi telah memungkinkan mereka untuk meninggalkan kartu pos, tapi masyarakat Jepang masih melaksanakan budaya tradisional tersebut.
Hal-hal tersebut itulah yang sering terlupakan oleh sebagian masyarakat lain, katika mereka disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, mereka tidak lagi mempunya waktu khusus untuk berkumpul bersama keluarga.
Begitu juga ketika kecanggihan teknologi telah merambah masyarakat modern, hanya sebagian kecil dari mereka yang tetap menggunakan jasa kantor pos untuk berkirim kartu pos ataupun surat.
Harusnya kita bisa bercermin pada orang-orang Jepang bagaimana meraka tetap mampu melestarikan budaya tradisional tersebut. Karena dari hal-hal sepele seperti itulah akan tercipta kesempurnaan, akan tetapi kesempurnaan bukanlah hal yang sepele.
Berbicara tentang hanami tentu tidak akan terlepas dari bunga sakura. Konon kabarnya bunga sakura hanya mekar selama tujuh sampai sepuluh hari.
Secara umum bunga sakura bermekaran dimulai dari daerah selatan yang berudara lebih hangat, yaitu di pulau Okinawa, kemudian merambat ke utara, dan berakhir di Hokkaido. Pada sebuah web di internet pernah dijelaskan bahwa hikmah besar mengenai kehidupan ini tersimpan pada keberadaan bunga sakura. Di balik ukurannya yang mungil, bunga yang memiliki berbagai mcam variasi warna, yang pada setiap tangkainnya berkembang lima hingga ratusan bunga ini telah memberi contoh pada kita bahwa hal-hal kecil jika dirangkai dalam sebuah untaian besar dapat memberi sebuah keindahan, dan hal-hal kecil berarti besar bila dipadukan. Bisa jadi karena beberapa keistimewaan yang terdapat pada bunga sakura itulah, mengapa orang-orang Jepang begitu antusias merayakan hanami untuk menyaksikan mekarnya bunga sakura yang hanya berlangsung selama tujuh sampai sepuluh hari.
Semoga saja kelak dalam perjalanan hidup kita bisa turut menjadi kuncup kecil yang bersatu bersama dengan yang lainnya untuk menciptakan indahnya kebersamaan, seindah kebersamaan orang-orang Jepang ketika merayakan hanami dibawah pohon sakura.