Bunga sebagai bagian dari tumbuhan
telah digunakan sejak zaman dahulu untuk berbagai ritual, baik sebagai
persembahan kepada dewa ataupun sesajian untuk arwah para leluhur. Namun, dari
sekian banyak ritual yang menggunakan bunga, mungkin hanya jepanglah yang dapat
mempertahankan dan mengubahnya menjadi sebuah kebudayaan bernilai seni tinggi,
yang dewasa ini dikenal dengan sebutan ikebana.
Pengertian Ikebana
Kata ikebana merupakan
gabungan dari kata ‘ike’ yang berari ‘hidup’ atau ‘tumbuh’ dan kata ‘hana/
bana’ yang berarti ‘bunga’. Jadi, secara etimologi ikebana berarti
‘bunga hidup’. Secara populer, ikebana diterjemahkan sebagai ‘seni
merangkai bunga’.
Rangkaian bunga ikebana tidak
hanya disusun oleh bunga saja. Daun, buah, rumput dan ranting juga menjadi
unsur penting dalam ikebana. Bahkan plastik, kaca dan logam juga
dipergunakan dalam ikebana kontemporer. Semua unsur-unsur tersebut
dirangkai sedemikian rupa dengan memperhatikan cara merangkai, ukuran, tekstur,
volume, warna, jambangan, tempat dan waktu merangkai bunga tersebut sehingga
dapat dihasilkan rangkaian bunga yang indah dan bernilai seni tinggi.
Ikebana Tradisional
Pada awalnya ikebana adalah
rangkain bunga yang dipersembahkan kepada Budha dan roh leluhur. Saat itu,
rangkaian ikebana masih sangat sederhana karena hanya terdiri dari 3
tangkai bunga saja yang ditancapkan sedemikian rupa secara simetris. Tangkai
utama yang paling panjang di tengah-tengah, sedangkan 2 tangkai lainnya yang
lebih pendek di kiri-kanannya. Pada awal abad 17, rangkaian bunga untuk
persembahan tersebut berkembang menjadi gaya rikka (bunga berdiri) yang
diciptakan oleh seorang biksu Budha dari Sekolah Ikenobo. Tangkai utama pada
gaya ini melambangkan surga atau kebenaran, sedangkan 2 tangkai lainnya
melambangkan alam (kehidupan).
Tak lama setelah gaya rikka
berkembang dan semakin komplek, muncul gaya lain yang sangat sederhana, yaitu nageire
yang artinya melemparkan atau membuang. Nageire ini merupakan rangkaian
bunga bergaya bebas. Dalam nageire ini rangkaian ikebana-nya
terdiri atas 1 atau 2 tangkai saja yang diletakkan secara apik pada
sebuah jambangan kecil sebagai hiasan pada saat chanoyu (upacara minum
teh). Rangkaian bunga untuk minum teh ini juga dikenal dengan istilah chabana.
Biksu dan golongan bangsawan
adalah segelintir orang yang pada awalnya mempraktikan ikebana, tetapi pada
abad 18 secara luas juga dipraktikan oleh golongan samurai dan para pedagang.
Hal ini tidak dapat lepas dari stabilitas keamanan dan perkembangan
perekonomian Jepang yang semakin baik. Kekomplekan dan kekakuan gaya rikka
mendorong lahirnya gaya lain yaitu gaya shoka atau seika yang
berarti ’bunga hidup’. Gaya shoka/ seika ini dengan cepat tersebar
di tengah masyarakat yang menyebabkan terdesaknya gaya rikka.
Pada dasarnya gaya shoka/
seika ini merupakan gabungan dari gaya rikka yang melambangkan alam dan
gaya nageire yang melambangkan kesederhanaan. Gaya shoka/ seika
terdiri atas 3 tangkai yang dibentuk menjadi segitiga yang asimetris. Ke-3
tangkai yang dipergunakan dalam gaya shoka/ seika ini memiliki julukan
tersendiri, yaitu ten (surga), chi (bumi) dan jin
(manusia). Gaya shoka/ seika ini menjadi sangat populer pada awal abad
19 dan menjadi dasar dalam pengajaran ikebana modern.
Ikebana Modern
Setelah Restorasi Meiji tahun
1868, semua kesenian yang berkembang di Jepang mangalami stagnasi. Kebudayaan
barat begitu memukau masyarakat Jepang sehingga kesenian dan kebudayaan
tradisional Jepang sedikit terlupakan. Namun, hal ini tidak berlansung lama
karena muncul sebuah gaya baru, yaitu gaya moribana (tumpukan bunga).
Kemunculan gaya moribana yang dikembangkan oleh Ohara Unshin
membangkitkan kembali minat bangsa Jepang pada ikebana. Gaya moribana
ini menekankan pada warna dan pertumbuhan tanaman. Gaya ini diciptakan untuk
merespon bunga-bunga baru yang diperkenalkan orang barat yang datang ke
Jepang.
Selain Ohara, muncul juga peletak
dasar ikebana lain yaitu Teshigahara Sofu, yang mendirikan Sekolah Shogetsu.
Di Shogetsu yang paling populer adalah kebebasan dalam pemilihan bahan.
Bahan-bahan yang tidak digunakan pada ikebana tradisional mulai
digunakan, seperti plastik, plester, baja dan lain-lain. Penggunaan bahan-bahan
ini menciptakan karya-karya avant-garde yang abstrak dan surealis.
Ikebana modern didominasi oleh tiga sekolah ikebana
yaitu Sekolah Ikenobo yang mengusung gaya rikka dan shoka/
seika, Sekolah Ohara yang mengusung gaya moribana dan Sekolah
Shogetsu yang mengusung konsep abstrak dan surealis. Ketiga sekolah ikebana
ini mengklaim memiliki jutaan pengikut. Selain ketiga sekolah tersebut di
Jepang sendiri masih ada ratusan sekolah lain dengan ribuan
pengikut.
Orang Jepang yang bukan pengikut
salah satu sekolah ikebana mempraktekan ikebana dengan
bahan-bahan tertentu dan pada waktu tertentu pula, misalnya :
1. Oshogatsu
Orang Jepang memasang kadomatsu
(rankaian bunga dari pohon cemara dan aprikot dan juga dilengkapi pohon bambu)
di pintu rumahnya pada saat Oshogatsu (Tahun Baru). Cemara melambangkan
keabadian, aprikot melambangan kemuliaan dan bambu melambangkan kedinamisan.
2. 3 Maret
Tanggal 3 Maret merupakan hari
diadakannya Hina Matsuri (Festival Boneka/ Festival Anak Perempuan).
Pada hari ini dipajang hina ningyo dan rangkaian ikebana dari
ranting pohon persik yang sedang mekar.
3. 5 Mei
Tanggal 5 mei merupakan Kodomo
no Hi (Hari Anak-anak). Pada hari ini dipajang rangkaian ikebana dari
pohon bunga iris.
4. 7
Juli
Tanggal 7 juli merupakan hari
dilaksanakannya Festival Tanabata. Pada hari ini dipajang bambu, lalu
pada bambu tersebut diikatkan kertas bertuliskan harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar